top of page

Analisis Hukum Pembatalan Perkawinan Akibat Salah Satu Pihak Sudah Memiliki Suami/Istri

Analisis Hukum Pembatalan Perkawinan Akibat Salah Satu Pihak Sudah Memiliki Suami/Istri dan Tidak Melakukan Perceraian

ALSA Legal Aid Team 2022/2023


Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam fakta di lingkungan masyarakat perkawinan tidaklah selalu berjalan sesuai dengan apa yang direncakan dan yang diimpikan. Berdasarkan data Balai Pusat Statistik Indonesia, jumlah kasus perceraian di Indonesia mencapai 516.334 kasus pada 2022. Angka ini meningkat 15,31% dibandingkan 2021 yang mencapai 447.743 kasus. Melalui angka perceraian yang kian meningkat dapat dipahami bahwa terdapat banyak faktor yang menyebabkan terjadinya suatu perceraian. Salah satu faktor yang seringkali memicu terjadi perceraian adalah pemalsuan yang dilakukan oleh salah satu pihak suami/istri.


Fasakh nikah atau pembatalan perkawinan adalah pembatalan hubungan suami istri sesudah dilangsungkan akad nikah. Fasakh ini bisa terjadi karena tidak terpenuhinya syarat-syarat ketika berlangsung akad nikah, atau karena hal hal lain yang datang kemudian dan membatalkan kelangsungannya perkawinan. Menurut Soedaryo Soimin, pembatalan perkawinan adalah tindakan putusan Pengadilan yang menyatakan bahwa perkawinan yang dilakukan itu tidak sah, akibatnya ialah bahwa perkawinan itu dianggap tidak pernah ada.


Pembatalan suatu perkawinan telah diatur secara lengkap dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia yaitu dalam Pasal 22 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menyebutkan bahwa “Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.”


Berdasarkan penjelasannya "dapat" pada pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain. Perkawinan dapat dibatalkan berarti sebelumnya telah terjadi perkawinan lalu dibatalkan karena adanya pelanggaran terhadap aturan-aturan tertentu, kesan memunculkan kurang berfungsinya pengawasan dari pihak keluarga atau pejabat berwenang sehingga perkawinan terlanjur dilaksanakan kendati efeknya berimbas pada pelanggaran terhadap Undang-Undang Perkawinan. Apabila hal ini terjadi maka Pengadilan Agama punya kompetensi absolut untuk membatalkan perkawinan tersebut atas permohonan atau gugatan pihak- pihak yang berkepentingan.


Suatu hubungan perkawinan yang dibatalkan memberikan akibat hukum terhadap suami maupun istri menjadi seperti semula sebelum dilaksanakannya suatu perkawinan dan seolah tidak pernah melakukan perkawinan. Dengan adanya putusan pengadilan yang membatalkan perkawinan maka perkawinan itu dianggap tidak pernah ada. Sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menjelaskan bahwa batalnya suatu perkawinan dihitung sejak saat berlangsungya perkawinan.


Akibat hukum lainnya terhadap harta kekayaan perkawinan yaitu harta bersama adalah dianggap tidak pernah ada. Akibat hukum terhadap pihak ketiga adalah suami isteri tetap memiliki kewajiban untuk melakukan perbuatan hukum yang dilakukan terhadap pihak ketiga pada saat perkawinan meskipun perkawinan tersebut dibatalkan. Dengan demikian timbul berbagai akibat hukum dalam pembatalan perkawinan yang pada intinya perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada sehingga tidak butuh suatu akta cerai. Walaupun demikian, pembatalan perkawinan ini berlaku surut terhadap beberapa hal seperti anak yang lahir selama perkawinan, harta bersama dan harta bawaan dan pihak ketiga.


Selain itu, pelaku pemalsuan identitas juga dapat dikenakan sanksi secara pidana karena tindakan pemalsuan identitas berupa status perkawinan termasuk salah satu tindak pidana yang sebagaimana diatur dalam pasal 263 KUHP dan 266 KUHP yang membahas mengenai pemalsuan. Hal ini dikarenakan dengan memalsukan identitas perkawinannya seorang suami/istri tentu saja sama saja memberikan keterangan palsu dalam surat yang menimbulkan hak suami istri sesuai dengan undang-undang perkawinan. Surat yang dimaksudkan disini merupakan suami dokumen yang berkaitan dengan perkawinan baik buku nikah, sertifikat pernikahan, dan yang lainnya.


Secara bahasa pasal 263 memang tersebut tidak menyebutkan tentang pemalsuan identitas dalam perkawinan, tetapi kita bisa cermati pasal tersebut menyebutkan tentang larangan “menyembunyikan perkawinan yang telah ada” artinya bahwa tidak boleh menyembunyikan atau memalsukan suatu identitas seperti status atau asal usul dan nama dalam perkawinan. Undang-undang tersebut satu-satunya yang membahas sanksi dalam perkawinan yang condong mengenai pemalsuan identitas calon pengantin dalam perkawinan akan tetapi Pengadilan Agama yang merupakan suatu lembaga hukum dalam perkawinan tetapi tidak bisa mengatur tentang itu. Sudah cukup jelas dari sumber-sumber hukum diatas bahwa pemalsuan identitas adalah perbuatan yang sangat bertentangan dengan hukum. Apalagi perkawinan dengan pemalsuan identitas yang jelas-jelas dua peristiwa penting yang sudah diatur dalam Undang-undang perkawinan dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).


Dengan demikian dapat dipahami bahwa selain dapat memberikan akibat hukum secara keperdataan dan pembatalan perkawinan, pelaku tindakan pemalsuan identitas juga dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan hukum yang berlaku yaitu sebagaimana telah diatur dalam pasal 263 maupun pasal 266 KUH Pidana.


Sumber Hukum:

  1. Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

  2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

  3. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Referensi:

  1. Badan Pusat Statistik Indonesia, “Data kasus perceraian di Indonesia tahun 2022”, BPS, Jakarta, 2022.

  2. Farhan Asyhadi dan Deny Guntara, “Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan Karena Penipuan Identitas Suami (Putusan Pengadilan Agama Nomor 4302/Pdt.G/2021/PA.JS)”, Jurnal Justisi Hukum, ISSN 2528-2638 Vol. 7, No. 2 Tahun 2022.

  3. Fitri Diana dan Suhartini, “Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Pemalsuan Identitas Perkawinan Dalam Pembuatan Buku Nikah”, Jurnal RESAM Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Muhammadiyah Takengon, Vol. 8 No.2 Tahun 2022.

  4. Janner Damanik, “Tinjauan Hukum Terhadap Pembatalan Perkawinan Akibat Pemalsuan Identitas”, Jurnal Institusi Politeknik Ganesha Medan, Vol. 5 No. 1 Tahun 2022.

  5. Muchlis Marwan dan Thoyib Mangkupranoto, “Hukum Islam II”, Buana Cipta, Surakarta, 1986.

  6. Sayuti Thalib, “Hukum Keluarga Indonesia”, Universitas Indonesia, Jakarta, 2009.

  7. Zainuddin Ali, “Hukum Perdata Islam di Indonesia”, Sinar Grafika, Jakarta, 2007.

0 comments
bottom of page