by: Arij Zahra Hadi Al-Faqih
English version
GENERAL OVERVIEW OF THE PRINCIPLE OF NON-SELF INCRIMINATION
The principle of non-self-incrimination is a principle that explains that a defendant has the right not to provide information that will incriminate/damage them before the trial. As with protecting oneself, this principle gives the accused the right not to ensnare or incriminate himself in a criminal case.
This principle is set further and unequivocally in Article 14, paragraph (3) letter g of Law Number 12 of 2005 About The International Covenant On Civil and Political Right, which asserts that the accused is entitled not to be forced to plead guilty. This means that a person is given the right not to be forced to give witness or information that could incriminate during the examination before a trial, including the right to freedom from coercion to plead guilty.
REGULATIONS ON THE PRINCIPLE OF NON-SELF INCRIMINATION IN INDONESIAN CRIMINAL PROCEDURE LAW
In particular, there is not a single provision of the Indonesian Positive Law governing this principle. However, this principle represents a manifestation of the Criminal Procedure Code in Article 66 that there is no burden of proof liability for the accused (proof burden becomes the liability of the prosecutor), Article 175, which suggests legal rights for the accused, Article 189 paragraph (3) which explains that the defendant's claim can be applied only to himself, Article 184 paragraph (1) which means that there is no recognition of the accused as valid evidence, and Article 168 which means a relative exception to be a witness., and Article 168 means an acceptable exception to be a witness.
At this point, the interpretation of the Principle of Non-Self Incrimination in the Criminal Procedure Code explains that the defendant is not burdened with the obligation to prove, if the defendant refuses to answer or does not want to answer the questions, Penal of Judges at trial can recommend an answer, and after that, the examination is continued. Therefore, the defendant can answer or refuse the questions, and no criminal charge for the defendant denies it.
APPLICATION OF THE PRINCIPLES OF NON-SELF INCRIMINATION IN THE PRACTICE OF INDONESIAN CRIMINAL JUSTICE
Regarding the ideal arrangement regarding the Principle of Non-Self Incrimination, it has been implicitly regulated in Law Number 12 of 2005 concerning the Ratification of The International Covenant On Civil and Political Rights and the Criminal Procedure Code. However, legal certainty is needed, furthermore, the enforcement of this principle is said to protect the rights of the accused.
The application of the Principle of Non-Self Incrimination is often not implemented precisely by the Criminal Justice System in Indonesia, this is evidenced by the frequent Decisions of the Supreme Court of the Republic of Indonesia, which criminalizes a defendant based on Self Incrimination.
Penerapan Asas Non-Self Incrimination dalam Hukum Acara Pidana Indonesia
Indonesia version
TINJAUAN UMUM TENTANG ASAS NON-SELF INCRIMINATION
Asas Non-Self Incrimination merupakan sebuah asas yang menerangkan bahwa seorang terdakwa mempunyai hak untuk tidak memberikan keterangan yang akan memberatkan/merugikan dirinya di muka persidangan. Seperti halnya melindungi diri, asas ini memberikan hak kepada terdakwa untuk tidak menjerat atau mengkriminalisasi dirinya sendiri dalam suatu perkara pidana.
Asas ini diatur lebih lanjut dan tegas pada Pasal 14 ayat (3) huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan The International Covenant On Civil and Political Right yang pada intinya menegaskan bahwa terdakwa diberikan hak untuk tidak boleh dipaksa untuk mengaku bersalah. Hal ini memiliki arti bahwa seseorang diberikan hak untuk tidak dipaksa dalam memberikan kesaksian atau keterangan yang dapat memberatkan dirinya senidi dalam pemeriksaan di muka persidangan, termasuk hak untuk bebas dari paksaan mengaku bersalah.
PENGATURAN ASAS NON-SELF INCRIMINATION DALAM HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA
Secara khusus, tidak terdapat satupun ketentuan Hukum Positif Indonesia yang mengatur mengenai asas ini. Akan tetapi, asas ini merupakan perwujudan dari ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana pada Pasal 66 yang mengartikan bahwa tidak ada beban kewajiban pembuktian bagi terdakwa (beban pembuktian menjadi kewajiban penuntut umum), Pasal 175 yang menyiratkan adanya hak ingkar bagi terdakwa, Pasal 189 ayat (3) yang menerangkan bahwa keterangan terdakwa hanya dapat dipergunakan bagi dirinya sendiri, Pasal 184 ayat (1) yang mengartikan bahwa tidak adanya pengakuan terdakwa sebagai alat bukti yang sah, dan Pasal 168 yang berarti pengecualian yang bersifat relative untuk menjadi saksi.
Pada intinya penafsiran Asas Non-Self Incrimination pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menjelaskan bahwa terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian, jika terdakwa menolak menjawab ataupun tidak mau menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, hakim ketua sidang bisa menganjurkan untuk menjawab dan setelah itu pemeriksaan dilanjutkan. Jadi, terdakwa diperbolehkan menjawab ataupun menolak pertanyaan yang diajukan kepadanya dan hal ini tidak terdapat sanksi bagi terdakwa yang menolak hal tersebut.
PENERAPAN ASAS NON-SELF INCRIMINATION DALAM PRAKTIK PERADILAN PIDANA INDONESIA
Terkait dengan pengaturan ideal mengenai Asas Non-Self Incrimination sudah diatur secara tersirat pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan The International Covenant On Civil and Political Right dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Namun, diperlukan kembali kepastian hukum agar penegakan terhadap asas ini terbilang melindungi hak terdakwa.
Penerapan Asas Non-Self Incrimination seringkali belum diimplementasikan secara presisi oleh sistem peradilan pidana di Indonesia, hal ini dibuktikan masih seringnya Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia yang mengkriminalisasi seorang Terdakwa berdasarkan Self Incrimination.
Sumber Hukum:
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005o tentang Pengesahan The International Covenant On Civil and Political Right; dan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Referensi:
Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Penegaka Hukum. Diadit Media, Jakarta, 2009 hal. 298.
Shanti Rachmadsyah, S.H., 2010. “Hak untuk Mungkir” https://www.hukumonline.com/klinik/a/hak-untuk-mungkir-cl4616, diakses pada 1 Januari 2023.
Comments