Mulai menghangatnya suhu politik Pemilu 2024, membuat banyak peristiwa akan terjadi, berbagai peristiwa yang mencakup penyebaran virus ideologi yang menganut kekerasan dan sikap anti kemanusiaan melalui berbagai platform internet seiring dengan momentum pemilihan. Pada Pemilu 2024, isu politik identitas menjadi sorotan utama dan menjadi perbincangan yang intens. Fenomena ini dipicu oleh politik identitas yang berasal dari persamaan identitas, yang seringkali menjadi pemicu konflik politik, terutama dalam konteks ketegangan antara kelompok superior dan inferior, serta antara mayoritas dan minoritas. Di era politik modern seperti sekarang, penguatan politik identitas dapat dianggap sebagai ancaman terhadap semangat nasionalisme dan keragaman masyarakat kita. Sesuai dengan ketentuan Pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR, Anggota DPD, serta anggota DPRD diselenggarakan berlandaskan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
Kampanye pemilu dijelaskan dalam Undang–Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yaitu pada pasal 267 sampai pasal 339. Metode kampanye tercantum dalam pasal 275 yang dapat dilakukan melalui dengan pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, penyebaran bahan Kampanye Pemilu kepada umum, pemasangan alat peraga di tempat umum, media sosial, iklan media massa cetak, media massa elektronik, dan internet, rapat umum, debat Pasangan Calon tentang materi Kampanye, Pasangan Calon dan kegiatan lain yang tidak melanggar larangan Kampanye Pemilu dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam pasal 280 dijelaskan mengenai larangan kampanye pemilu, beberapa larangan yang terdapat pada pasal 280 ayat 1 yaitu mempersoalkan dasar negara Pancasila, Pembukaan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia; melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau Peserta Pemilu yang lain; menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat; dsb. Jika larangan tersebut tetap dilanggar maka akan mendapat sanksi pidana. Dalam Pasal 280 ayat (1) huruf c dijelaskan bahwa “menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau peserta pemilu yang lain.” dan Pasal 521, yang berbunyi “Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja melanggar larangan dalam Pasal 280 ayat (1) huruf a,b,c,d,e,f,g,h,i, atau j, dipidana penjara paling lama dua tahun dan denda paling banyak 24 juta rupiah.” (UU RI Nomor 7 Tahun 2017).
Pengertian mengenai Black Campaign atau Kampanye Hitam memang belum terdapat dalam Undang–Undang, akan tetapi jaman dahulu kampanye hitam dikenal sebagai whispering campaign atau kampanye berbisik melalui mulut ke mulut atau seperti berbicara tidak sesuai fakta (rumor). Umumnya Black Campaign mempunyai ciri lebih banyak mengada-ngada daripada fakta yang ada. Kampanye hitam berbeda dengan kampanye negatif. Dalam penerapannya aturan pemilu telah ada dalam Undang–Undang dan untuk kampanye negatif dibolehkan karena info yang dikatakan berupa fakta yang telah diverifikasi meskipun bentuknya menyerang pihak lawan. Kegiatan kampanye negatif dilakukan dengan memberikan kelemahan dan kesalahan dari pihak lawan.
Selain UU No. 7 Tahun 2017, seseorang yang melakukan kampanye hitam (black campaign) di media sosial akan dikenakan Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU No. 19 Tahun 2016) yang menyatakan bahwa setiap orang dilarang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Pelanggaran atas ketentuan ini dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) (Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016).
Contoh nyatanya adalah yang terjadi pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 lalu. Salah satu faktor yang memicu munculnya politik identitas adalah keterlibatan salah satu calon gubernur, yaitu Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok, yang memiliki keturunan etnis China. Pesaingnya, Anies Baswedan, mendapat dukungan dari kelompok Islam, yang merupakan mayoritas agama di Indonesia. Pada Pilkada DKI Jakarta 2017, kelompok pendukung Anies Baswedan menggunakan identitas agama Islam dalam politik identitas, sehingga menimbulkan intoleransi di tengah masyarakat. Isu politik identitas ini menjadi perbincangan intens pada saat itu dan memiliki dampak besar terhadap hasil akhir dari Pilkada DKI Jakarta tahun tersebut.
Presiden Joko Widodo sebelumnya telah mengungkapkan keprihatinannya terkait risiko politik identitas dalam konteks pemilihan umum di Indonesia. Salah satu risiko yang dapat timbul dari politik identitas adalah potensi terjadinya perpecahan, baik di kalangan masyarakat maupun di dalam partai politik itu sendiri. Hal ini terlihat dalam kesepakatan antara Partai Nasdem, Partai Demokrat, dan PKS dengan Partai Ummat untuk mendukung politik identitas dalam kampanye untuk Anies Baswedan. Meskipun terdapat kesepakatan tersebut, muncul pertanyaan apakah isu ini tidak akan memicu polarisasi politik di masyarakat, bahkan di antara pendukung basis massa dari partai-partai yang terlibat. Paradigma demokratisasi mencakup politik hukum dan dominasi partai politik pada perhelatan pemilu tahun 2024 menandai suatu tahap signifikan. Dengan mengamati dinamika politik menjelang Pemilu 2024 dan mencermati nama-nama yang secara konsisten muncul sebagai calon presiden utama dalam berbagai survei, seperti Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto, penulis menyatakan keyakinannya bahwa pemilu tahun depan kemungkinan akan kembali mengalami pembelahan akibat politik identitas. Penyebaran ujaran kebencian, fitnah, dan informasi palsu, serta konflik yang mengarah pada tindakan kekerasan secara kasar, diprediksi akan menjadi ciri khas dalam kontestasi politik Pemilu 2024. Muhtadi (2019:10) menekankan bahwa fenomena politik identitas yang diusung dalam konteks populisme Islam, jika dikelola oleh para pemimpin dan politisi yang enggan melawan arus, dapat berubah menjadi racun yang secara perlahan namun pasti mengancam demokrasi. Hal ini tidak lagi menjadi "mitra" demokrasi yang selama ini dianggap sebagai ilusi oleh mereka yang tidak menyadari bahaya dan ancaman yang ditimbulkan bagi negara Indonesia. Dapat disimpulkan bahwa Pertarungan politik di Indonesia, baik di tingkat nasional maupun lokal, ketika dipenuhi oleh politik identitas, cenderung menuju ke arah populisme dengan sentimen agama. Benturan antara dua kekuatan ekstrem politik identitas seakan menghapuskan ruang untuk moderasi dan pendekatan tengah yang mementingkan rasionalitas dan kematangan berpikir. Elite politik cenderung mendukung politik identitas yang terkait dengan etnis dan agama sebagai strategi kampanye yang efektif karena keduanya memiliki dampak elektoral yang tinggi terhadap partisipasi politik masyarakat. Ancaman yang timbul dari praktik politik identitas dapat merendahkan substansi pelaksanaan Pemilu 2024, meskipun secara formal pemilihan itu tetap berlangsung sesuai prosedur.
SUMBER HUKUM.
Pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Tentang Pemilu
Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu Pada Pasal 267 sampai pasal 339
Pasal 280 ayat (1) dan Pasal 521 Tentang Larangan Kampanye Pemilu
Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU No.19 Tahun 2016)
REFERENSI.
Al-Farisi, L., S. (2020). Politik Identitas: Ancaman Terhadap Persatuan dan Kesatuan Bangsa dalam Negara Pancasila. Jurnal Aspirasi.
Ardipandanto, A. (2020). Dampak Politik Identitas Pada Pilpres 2019: Perspektif Populisme. Jurnal Politica.
Fautanu, I., Buhori, M., Gunawan, H. (2020). Politik Identitas dalam Pilkada DKI Jakarta Tahun 2017: Perspektif Pemikiran Politik Nurcholish Madjid. Politicon: Jurnal Ilmu Politik
Comments