Foto by Amanda Jufrian/AFP
Permasalahan etnis Rohingya yang bermula dari Myanmar pada tahun 1991 masih menjadi konflik yang terus berlanjut hingga sekarang di mana sampai melibatkan negara-negara lain. Banyaknya alasan ketidakadilan yang didapatkan pada etnis Rohingya ini seperti tindak diskriminatif atas ketidaksetaraan dengan etnis lain, kecemburuan, dan perbedaan status sosial membuahkan keputusan oleh Myanmar yang tidak menganggap kewarganegaraan mereka. Hal tersebut mengakibatkan pada hak dan kewajiban warga negara yang tidak akan didapat dikarenakan negara tidak menanggung apapun atas mereka. Akhir keputusan yang dilakukan untuk melanjutkan hidup adalah mengungsi ke negara lain. Sebelumnya, mereka telah melakukan pengungsian ke beberapa negara seperti Bangladesh dan Malaysia. Kabar terbaru juga menunjukkan bahwa telah tibanya etnis Rohingya di tanah Indonesia tepatnya di Aceh. Pertama kali pada tanggal 19 November 2023 dengan jumlah 490 imigran dan terus berangsur semakin banyak. Namun, warga Aceh menolak dan mengusir kehadiran mereka.
Hal ini juga dilakukan oleh negara-negara sebelumnya yang mereka kunjungi. Warga setempat bersuara atas alasan mereka menolak etnis Rohingya masuk ke Aceh. Hal itu dirasa karena etnis Rohingya menganggu masyarakat dan melanggar norma-norma yang berlaku. Mereka juga dianggap berlaku tidak sopan dan 'tidak tahu diri'. Pasalnya, mereka menganggu aktivitas yang seharusnya dilakukan seperti menganggu aktivitas kerja dari nelayan, tidak menjaga kebersihan, melanggar aturan Islam yang berlaku di daerah setempat, dan mengaku pemberian berupa makanan dan pakaian kurang sehingga dibuang, dan tingkah laku lainnya yang tidak mengenakkan. Hal ini telah dijelaskan dalam pasal 1F konvensi 1951 di mana golongan pencari suaka tidak berhak memperoleh status pengungsi jika melakukan tindakan kejahatan ataupun tindakan yang bertentangan dengan prinsip PBB.
Indonesia sendiri dapat dibilang tidak ada kewajiban untuk menampung etnis Rohingya dikarenakan Indonesia belum tergabung dalam negara pihak dari konvensi 1951 tentang status pengungsi dan protokol 1967 yang juga belum memiliki sistem khusus untuk menentukannya status pengungsi. Namun, bila dilihat dari latar belakang sebelumnya, Indonesia pernah menjadi negara tempat orang mengungsi atas dasar kemanusiaan karena diplomasi Indonesia adalah diplomasi kemanusiaan. Indonesia membantu dalam hal obat-obatan, makanan, pakaian, dan lainnya serta membantu pemecahan masalah dan solusi bagaimana selanjutnya para pengungsi harus ditindaklanjuti. Hal ini berjalan sesuai dengan Peraturan Presiden No 125 tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri. Namun, peraturan ini juga dinilai belum optimal karena masih ada banyak celah yang belum bisa membuat Indonesia bergerak lebih untuk mengatasi permasalahan mengenai pengungsian.
Hal ini juga yang menjadi alasan Indonesia tidak ratifikasi konvensi 1951, karena jika iya, Indonesia harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang telah diatur didalamnya yang di mana Indonesia sendiri belum mampu untuk melakukannya. Seperti pada pasal 17 konvensi 1951 yang menuntut negara untuk memberikan pekerjaan bagi para pengungsi sedangkan pengangguran di Indonesia masih tergolong tinggi. Contoh lain pada pasal 21 konvensi 1951 di mana negara harus memberikan rumah sebagai tempat tinggal bagi para pengungsi sedangkan angka kemiskinan di Indonesia juga masih tinggi.
Sehingga, Indonesia masih perlu bantuan dari pihak luar untuk mengatur pengungsi yang ada di Indonesia seperti United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) yang merupakan lembaga naungan PBB yang diberi mandat untuk menangani masalah pengungsian. Jadi, etnis Rohingya yang datang ke Indonesia adalah urusan UNHCR dan Indonesia membantu sedapatnya karena status pengungsi juga tidak semudah itu untuk didapatkan mengingat etnis Rohingya datang ke Indonesia melalui kapal laut dan dapat disebut bukan sebagai pengungsi melainkan pendatang gelap sehingga harus dapat verifikasi dari UNHCR.
Dapat disimpulkan bahwa, pemerintah Indonesia harus bekerja sama dengan UNHCR untuk bisa menindaklanjuti lebih cepat untuk bisa mengatasi masalah pengungsian etnis Rohingya ini dikarenakan takut akan adanya kerugian yang terjadi mengingat masyarakat setempat sudah mengambil tindakan sendiri yaitu pengusiran terhadap para pengungsi juga melihat timeline yang sudah sangat lama sehingga harus bisa diselesaikan agar tidak merugikan negara mana pun. Peraturan di Indonesia pun belum bisa sepenuhnya memberikan solusi untuk kasus ini sehingga harus dikembalikan kepada UNHCR dengan tetap membantu sebisanya tanpa harus merugikan masyarakat Indonesia sendiri.
ENGLISH VERSION
The Rohingya ethnic problem that started in Myanmar in 1991 is still a conflict that continues until now where it involves other countries. The many reasons for the injustice suffered by the Rohingya such as discriminatory acts of inequality with other ethnicities, jealousy, and differences in social status led to the decision by Myanmar not to consider their citizenship. This results in the rights and obligations of citizens who will not be obtained because the state does not bear anything for them. The final decision to continue living is to flee to another country. Previously, they have fled to several countries such as Bangladesh and Malaysia. The latest news also shows that the Rohingya have arrived in Indonesia, precisely in Aceh. The first time was on November 19, 2023 with the number of 490 immigrants and continued to grow. However, the people of Aceh rejected and expelled their presence.
This was also done by the previous countries they visited. The locals spoke out on why they refused to allow the Rohingya into Aceh. It was felt that the Rohingyas were disturbing the community and violating prevailing norms. They are also considered disrespectful and 'ignorant'. The reason is that they disrupt activities that should be carried out such as disrupting the work activities of fishermen, not maintaining cleanliness, violating Islamic rules that apply in the local area, and claiming gifts in the form of food and clothing are lacking so they are thrown away, and other unpleasant behavior. This has been explained in article 1F of the 1951 convention where asylum seekers are not entitled to refugee status if they commit crimes or acts that are contrary to PBB principles.
Indonesia itself arguably has no obligation to accommodate the Rohingya because Indonesia is not yet a state party to the 1951 convention on the status of refugees and the 1967 protocol which also does not have a special system to determine refugee status. However, when viewed from the previous background, Indonesia has been a country where people have fled on humanitarian grounds because Indonesia's diplomacy was humanitarian diplomacy. Indonesia assists in terms of medicine, food, clothing, and others as well as assisting in problem solving and solutions on how the refugees should be followed up. This is in accordance with Presidential Regulation No. 125/2016 on the Handling of Refugees from Abroad. However, this regulation is also considered not optimal because there are still many gaps that cannot make Indonesia move more to overcome problems regarding refugees.
This is also the reason why Indonesia did not ratify the 1951 convention, because if it does, Indonesia must fulfill the provisions that have been regulated in it, which Indonesia itself has not been able to do. For example, article 17 of the 1951 convention requires the state to provide jobs for refugees while unemployment in Indonesia is still relatively high. Another example is article 21 of the 1951 convention which requires the state to provide housing for refugees while the poverty rate in Indonesia is still high.
So, Indonesia still needs help from outside parties to manage refugees in Indonesia such as the United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) which is a PBB agency mandated to handle refugee issues. So, the Rohingyas who come to Indonesia are UNHCR's business and Indonesia helps as much as possible because refugee status is also not that easy to get considering that the Rohingyas come to Indonesia by ship and can be called not as refugees but illegal immigrants so they must get verification from UNHCR.
It can be concluded that, the Indonesian government must work with UNHCR to be able to follow up more quickly to be able to solve the problem of Rohingya ethnic refugees due to fear of the losses that occur considering the local community has taken its own actions, namely the expulsion of refugees as well as seeing the timeline that has been very long so that it must be resolved so as not to harm any country. Indonesian regulations have not been able to fully provide a solution to this case so it must be returned to UNHCR by continuing to help as much as possible without having to harm the Indonesian people themselves.
Sumber Hukum
Konvensi 1951 tentang status pengungsi dan Protokol 1967 Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang penanganan Pengungsi Luar Negeri.
Referensi
Inayah, Astiwi. 2022. Respon ASEAN Terhadap Permasalahan Etnis Rohingya di Myanmar. 4(1), 31-44.
Susetyo, Heru. 2023. Solusi Penanganan Pengungsi Etnis Rohingya. (https://www.hukumonline.com/berita/a/solusi-penanganan-pengungsi-etnis-rohingya).
Yudho Asto Kartiko, Jennifer Cecilia Telaumbanua, Tsaltsa Syah Putri. 2019. Penerapan Pengawasan Keimigrasian Terhadap Pengungsi Psa Community House di Bawah Pengawasan Rumah Detensi Imigrasi Jakarta. 1(1), 14-29.
Comments