top of page

Pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap Demonstran Dalam Aksi Penolakan RUU TNI

ree
by : Anjani

Belakangan ini, aksi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa dan masyarakat sipil untuk menolak Rancangan Undang-Undang tentang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Sayangnya, aksi yang seharusnya menjadi bentuk penyampaian aspirasi secara damai justru dibalas dengan respons keras dari aparat. Tidak sedikit video dan laporan yang beredar memperlihatkan tindakan represif seperti pemukulan, pembubaran paksa, bahkan penangkapan terhadap para demonstran.
 
Salah satu kasus nyata yang mencolok terjadi pada 20 Maret 2025 di Jakarta, saat massa aksi mulai memasuki kompleks Gedung DPR RI. Aparat langsung merespons dengan cara brutal: pentungan, pukulan, hingga penggunaan water cannon. Muhammad Bagir Shadr, Koordinator Bidang Sosial Politik BEM UI, menyatakan bahwa begitu massa baru saja masuk, mereka langsung dihujani dengan kekerasan. “Baru saja kami mulai masuk, mereka langsung meng hujani kami dengan pentungan dan pukulan,” ujarnya. Tiga mahasiswa dari Universitas Indonesia mengalami luka cukup serius dan harus dilarikan ke rumah sakit. Muhammad Aidan mengalami luka di kepala, Rafi Raditya diduga dipukuli saat mencoba masuk, dan engsel kaki Ghifari Rizky Pramono terinjak hingga patah. Suasana semakin kacau ketika aparat membalas aksi mahasiswa dengan semprotan water cannon, sementara massa membalas dengan menembakkan petasan. Kekacauan ini memperparah situasi dan menimbulkan lebih banyak korban.

Situasi ini menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat: apakah tindakan aparat tersebut telah melanggar Hak Asasi Manusia, khususnya hak dasar warga negara untuk menyampaikan pendapat dan berekspresi di ruang publik?
 
Padahal, jika dilihat dari sisi hukum, hak untuk menyampaikan pendapat dijamin dengan sangat jelas dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Indonesia juga sudah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik lewat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, yang memperkuat perlindungan terhadap kebebasan berekspresi. Selain itu, ada juga Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, serta Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang mempertegas bahwa demonstrasi adalah bagian dari hak warga negara yang harus dihormati dan dijamin.
 
Namun pada kenyataannya, apa yang terjadi di lapangan seringkali tidak sejalan dengan hukum yang ada. Komnas HAM sudah mengingatkan bahwa penggunaan kekuatan oleh aparat harus berdasarkan prinsip legalitas, nesesitas, proporsionalitas, dan akuntabilitas. Kalau aksinya berlangsung damai dan tidak ada ancaman nyata, penggunaan kekerasan itu sama sekali tidak bisa dibenarkan.

Tobing Mulya Lubis berpendapat bahwa di negara demokratis, pemerintah tidak seharusnya takut sama kritik dari rakyat. Menurutnya, “Pemerintah yang anti kritik adalah pemerintah yang anti demokrasi.” Jadi, negara seharusnya justru membuka ruang seluas-luasnya untuk kebebasan berekspresi dan berpendapat, bukan malah menutupnya dengan kekerasan. Selain itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, juga menyoroti soal ini. Ia mengatakan bahwa pembubaran aksi damai oleh aparat, apalagi disertai kekerasan, merupakan bentuk pelanggaran HAM. Ia juga menegaskan bahwa aparat negara seharusnya melindungi, bukan malah menyakiti warga yang sedang menggunakan hak konstitusionalnya untuk menyampaikan pendapat di muka umum.
 
Dari semua kejadian dan aturan hukum yang sudah dibahas, dapat disimpulkan bahwa tindakan aparat terhadap para demonstran dalam aksi penolakan RUU TNI merupakan bentuk nyata dari pelanggaran Hak Asasi Manusia. Negara yang seharusnya hadir untuk melindungi warganya justru malah jadi pihak yang menyakiti. Kalau hal seperti ini terus terjadi, demokrasi dan kebebasan sipil di Indonesia bisa makin terancam. Suara rakyat seharusnya tidak dibungkam, apalagi dengan cara-cara yang represif. Karena saat hukum dan HAM mulai diabaikan, yang hilang bukan cuma rasa keadilan, tapi juga ruang aman bagi rakyat untuk bersuara.




DAFTAR PUSTAKA

Comments


LOGO putih.png
Jl. Raya Palembang - Prabumulih KM. 32, Indralaya Utara Kab. Ogan Ilir,
Sumatera Selatan 30662   |   alsalcunsri@gmail.com   |  +6282175949941

Copyright © 2024 Asian Law Students' Association Local Chapter Universitas Sriwijaya

Organized by ICT Officers ALSA LC Unsri    |   All Rights Reserved. All Systems Operational.

bottom of page