Aturan Bedah Plastik di Indonesia
Aturan bedah plastik dikenal dengan istilah bedah plastik rekonstruksi dan estetika dalam Undang-Undang Kesehatan (UU Kesehatan). Namun, sebenarnya tidak ada definisi khusus mengenai bedah plastik rekonstruksi dan estetika dan hanya dikenal sebagai salah satu cara penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan sebagaimana tercantum dalam Pasal 123 UU Kesehatan, yaitu: “Dalam rangka penyembuhan penyakit dan pemulihan Kesehatan dapat dilakukan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh, terapi berbasis sel dan/atau sel punca, serta bedah plastik rekonstruksi dan estetika”
Adapun dari kedua beda plastik tersebut dibedakan menjadi 2 jenis yaitu,
Bedah plastik rekonstruksi bedah plastik rekonstruksi merupakan bedah plastik yang ditujukan untuk memperbaiki fungsi tubuh yang memiliki kelainan fungsi tubuh atau bagian tubuh tertentu serta penampilan tubuh yang diakibatkan oleh faktor cacat bawaan, cacat akibat trauma, kecelakaan maupun akibat pengangkatan tumor
Bedah plastik Estetika bedah plastik estetika bertujuan untuk memperbaiki bagian tubuh yang kurang harmonis atau sempurna sesuai dengan keinginan pasien yang merasa kurang puas dengan bentuk fisiknya, seperti salah satu organ atau jaringan tubuh yang tidak optimal.
Jika melihat dari hukum operasi plastik di indonesia, dalam pelaksanaan bedah plastik rekonstruksi dan estetika diatur sebagai berikut:
Bedah plastik rekonstruksi dan estetika hanya dapat dilakukan oleh tenaga medis yang mempunyai keahlian dan kewenangan.
Bedah plastik rekonstruksi dan estetika tidak boleh bertentangan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat dan tidak ditujukan untuk mengubah identitas.
Dari apa yang telah dijelaskan diatas, dapat diketahui bahwa klien melakukan operasi plastik berjenis estetika jika tidak memiliki ketentuan untuk melakukan operasi rekonstruksi. Namun, yang perlu diketahui bahwa untuk melakukan bedah plastik tersebut hanya dapat dilakukan oleh tenaga medis yang mempunyai keahlian dan kewenangan yang dapat dibuktikan dengan kartu anggota IDI (Ikatan Dokter Indonesia) dan dokumen pendukung lainnya. Oleh karena itu, kami sangat menyarankan kepada klien untuk mengecek dan melihat IDI dari dokter yang menangani anda. Serta melakukan pengecekan ulang dengan izin pendirian klinik kecantikan untuk melakukan prakteknya.
Pertanggungjawaban Hukum Dokter Terhadap Pasien
Responsibility diartikan sebagai tanggung jawab yang disebabkan perbuatan atas dirinya sendiri. Sedangkan liability lebih diartikan sebagai tanggungjawab yang disebabkan perbuatannya terhadap orang lain, sehingga liability inilah yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai pertanggungjawaban hukum. Dimana apabila seseorang melakukan kesalahan, kelalaian dan akibat dari kelalaian / kesalahan itu menimbulkan kerugian bagi orang lain maka seseorang itu dapat dimintakan tanggung jawab hukumnya, sehingga orang yang menderita kerugian akibat dari kesalahan / kelalaian itu berhak untuk menggugat ganti rugi.
Tanggung jawab hukum ini berlaku atas pelayanan klinik kecantikan, sehingga apabila dokter melakukan kelalaian atau kesalahan dalam menjalankan tugas medisnya terhadap pasien lain maka Pasien dapat menggugat untuk membayar ganti rugi. Menurut aliran pikiran hukum bahwa apabila seorang dokter dengan pasien telah mengikatkan diri, maka dokter tersebut berusaha mengadakan perawatan terhadap pasien sebagai suatu kewajiban. Kewajiban pokok seorang dokter terhadap pasiennya adalah usaha keras (in spanning) dari dokter untuk menyembuhkan pasiennya.
Tanggung jawab hukum seorang dokter timbul karena adanya landasan yang berdasarkan kontrak atau persetujuan/perjanjian pasien dengan dokter.Tanggung jawab hukum dokter terjadi apabila seorang pasien menggugat dokter untuk membayar ganti rugi atas dasar perbuatan yang merugikan pasien tersebut.
Dalam hal ini, Pasien dapat melakukan gugatan wanprestasi dalam pelayanan kesehatan yang timbul karena tindakan seorang dokter dalam pemberian jasa pelayanan medis yang tidak sesuai dengan apa yang diperjanjikan. Menurut R. Subekti, hal-hal yang menyebabkan tidak dipenuhinya isi perjanjian (wanprestasi) yaitu sebagai berikut:
tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan
melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan tetapi terlambat melaksanakannya
melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan, tetapi tidak sempurna dalam pelaksanaan dan hasilnya.
Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Dengan demikian, jika klien merasa bahwa telah terjadi kerugian sepihak atau kerugian yang dialami karena tidak sesuai dengan perjanjian diawal maka klien berhak untuk melakukan gugatan ganti rugi terhadap dokter/tenaga medis tersebut sebagai pertanggungjawaban hukum dokter terhadap pasiennya atas kelalaiannya yang mengakibatkan pasien mengalami kerugian.
Standar Profesi Tenaga Kesehatan
Standar profesi tenaga kesehatan menjelaskan bahwa dalam melakukan tugasnya setiap tenaga kesehatan berkewajiban untuk mematuhi standar profesi tenaga kesehatan. Dalam penjelasan resminya dinyatakan bahwa standar profesi tenaga kesehatan adalah pedoman yang harus dipergunakan oleh tenaga kesehatan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesinya secara baik. Berhubungan dengan SPM (Standar Pelayanan Masyarakat) dan perlindungan hukum yang dapat diterima oleh dokter sebagai tenaga medis ditentukan dalam Pasal 53 UU Kesehatan, selengkapnya dinyatakan sebagai berikut.
Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.
Dalam melakukan tugasnya tenaga kesehatan berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien.
Untuk kepentingan pembuktian, tenaga kesehatan dapat melakukan tindakan medis terhadap seseorang dengan memperhatikan kesehatan dan keselamatan yang bersangkutan.
Ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak pasien sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2) ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Khusus berhubungan dengan SPM, Penjelasan Resmi atas Pasal 53 Ayat (2) UU Kesehatan menyatakan bahwa standar profesi adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi dengan baik. Dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan yang berwenang dan bertanggung jawab dalam melakukan tindakan medis adalah dokter. Dengan demikian, apabila dihubungkan dengan pelaksanaan terpenuhinya standar profesi dalam pelayanan medis, maka standar profesi yang harus dipenuhi oleh dokter adalah standar profesi medis.
Apabila dokter tidak memenuhinya maka dokter dapat dinyatakan telah melakukan tindakan malpraktik medis yang dapat dituntut secara hukum. Dengan demikian, berdasarkan Pasal 53 UU Kesehatan, standar profesi merupakan pedoman dan petunjuk dalam pelaksanaan praktik profesi tenaga kesehatan yang dalam pelaksanaannya harus menghormati hak-hak pasien.
Jika dikaitkan pada kasus klien ini, jika benar bahwa dokter yang anda percayakan terbukti melakukan malpraktik maka dokter/petugas kesehatan dalam melakukan tugas atau profesinya adalah sebenarnya tidak melanggar hukum atau kejahatan, kalau kelalaian tersebut tidak sampai membawa kerugian atau cidera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya. Akan tetapi, apabila kelalaian seorang tenaga kesehatan hingga menyebabkan orang lain menderita kerugian atau cidera, cacat, atau meninggal dunia berarti juga melanggar hukum, dan juga melanggar etika. Kelalaian petugas kesehatan yang menyebabkan kerugian, cedera atau cacat, dan sebagainya bagi orang lain diklasifikasikan sebagai kelalaian berat atau “culpa lata”, atau serius, dan disebut tindakan kriminal, atau dalam bidang kedokteran disebut sebagai malpraktik medik.
Perlu diketahui bersama oleh klien untuk melakukan gugatan Malpraktik dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum pidana dan/atau perdata. Untuk yang tergolong tindakan pidana, jalurnya pengaduannya melalui kepolisian, kejaksaan, pemeriksaan pengadilan, dan eksekusi (pelaksanaan putusan). Tindakan malpraktik merupakan klasifikasi tindakan pidana aduan, jadi jika pihak yang merasa dirugikan mengadukan kepada kepolisian, baru bisa dilaksanakan proses hukum, dan sebaliknya kalau tidak ada aduan dari pihak yang dirugikan, pihak yang berkompeten (kepolisian) tidak melakukan proses hukum.
Sedangkan malpraktik yang tergolong tindakan perdata, gugatan dilakukan melalui pengadilan. Pihak yang merasa dirugikan mengajukan gugatan ke pengadilan dengan menyebutkan permasalahannya (posita), serta jenis dan besarnya tuntutan (petitum). Dokter dan pasien yang mengadakan pembicaraan tentang persetujuan tindakan medis maka secara yuridis dianggap telah mengadakan ikatan perjanjian. Sejak saat itu pula apabila ternyata dalam pelayanan medik mengakibatkan kerugian terhadap pasien, dokter atau rumah sakit yang melakukan pelayanan bisa dilakukan penuntutan ganti rugi perdata.
Pada kasus klien, terdapat beberapa kerugian yang dialami oleh klien sendiri adalah jadwal operasi yang tidak sesuai jadwal, tempat operasi yang menurut klien memiliki fasilitas yang tidak tergolong baik, dan menyuruh melakukan pembukaan jahitan secara pribadi hingga kerugian fisik yang mengakibatkan hidung klien mengalami pendarahan serta gagalnya operasi bibir dan hidung klien. Hal itu tentu merugikan klien/pasien yang bersangkutan baik dari segi fasilitas dan tidak terjangkaunya pelayanan dalam standar profesi tenaga medis kesehatan kepada pasien/klien.
Akan tetapi, jika dokter tersebut telah melakukan pemeriksaan terlebih dahulu kepada klien dan memberikan nasihat medis bahwa mungkin akan terjadi komplikasi dalam operasi dan kemungkinan-kemungkinan lainnya namun, pasien tetap bersikeras melakukan operasi maka tanggung jawab hukum bukan hanya milik dokter/tenaga medis melainkan milik pasien itu juga sehingga tidak dapat dikatakan malpraktik atau tidak memberikan pelayanan medik sesuai standar profesi dan standar profesi prosedur operasi.
Kesimpulan
Dengan permasalahan hukum yang telah diberikan kepada kami, dapat kami simpulkan bahwa dokter tersebut tidak memberikan pelayanan yang baik dari segi prasarana dan sarana kepada klien sehingga memungkinkan ada kendala pada prosedur operasi. Hal tersebut merupakan tindakan yang salah dan tidak sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan apalagi seorang dokter. Berdasarkan hal tersebut, dapat memungkinkan untuk klien melakukan gugatan perbuatan melawan hukum perdata jika perbuatan dokter tersebut melakukan malpraktik yang tidak sesuai akan peraturan dan ketentuan undang-undang. sedangkan jika klien merasa perjanjian antara klien dan dokter tidak sesuai dengan realisasi saat operasi maka klien dapat mengajukan gugatan wanprestasi. kedua gugatan tersebut dapat dilakukan dengan menitikberatkan kerugian dan tuntutan ganti rugi kepada dokter yang bersangkutan.
Mungkin itu saja yang dapat kami sampaikan, kami ucapkan sekali lagi terima kasih atas kesempatan yang diberikan untuk menelaah kasus tersebut. apabila ada salah, kami mohon maaf dan terima kasih.
Comments