top of page

Sapta Karsa Hutama: Code of Ethics for Constitutional Judges of the Republic of Indonesia

by : Surya Saputra


English Version

What is Sapta Karsa Hutama?  

The code of ethics for Constitutional Judges of the Republic of Indonesia is a moral norm that every Constitutional Judge must guide. The code of ethics and behavior of constitutional judges in Indonesia was declared and signed by nine constitutional judges on October 17th, 2005. Moreover, it was signed by nine constitutional judges on October 17th, 2005. Which was refined on December 1st, 2006, and regulated in the Regulation of the Constitutional Court Number 09 / PMK / 2006 concerning the Enforcement of the Declaration of the Code of Ethics and Behavior of Judges. The Constitutional Court is known as Sapta Karsa Hutama.


The preparation of the Code of Ethics and Behavior of Constitutional Judges refers to "The Bangalore Principles of Judicial Conduct 2002," which has been accepted by both countries. Countries that follow the "Civil Law" and "Common Law" systems adapted to the Indonesian legal and judicial system and the ethics of life. Indonesia's legal and judicial system and the ethics of national life as contained in MPR Decree No. VI/MPR/2001 on the Ethics of National Life. To ensure that the Sapta Karsa Hutama Principle can be adhered to and implemented, there is a permanent device, namely the Ethics Council of Constitutional Judges, which is positioned as a Complement the existence of the Honorary Council of the Constitutional Court, which is temporary as stipulated in Law Number 24 of 2003 concerning the Constitutional Court.


Principles in the regulation of the code of ethics and behavior of constitutional judges in Indonesia

  1. Principle of Independence The independence of constitutional judges is a basic prerequisite for the realization of the ideals of the rule of law. It is a guarantee for the establishment of law and justice of the rule of law. In its implementation, constitutional judges must maintain and demonstrate an independent image to strengthen public trust in the Constitutional Court.

  2. Principle of Impartiality Impartiality includes a neutral attitude, accompanied by a balance between interests related to the case. In its application, constitutional judges must carry out the duties of the Court without prejudice (prejudice), bias, and not favoring one of the parties.

  3. Principle of Integrity Integrity is an inner attitude that reflects the wholeness and balance of the personality of each constitutional judge as a person and as a state official performing the duties of their office. In its application, constitutional judges ensure that their behavior is impeccable from the point of view of proper observation. The actions and behavior of constitutional judges must strengthen the public's trust in the image and authority of the Court.

  4. Principles of Appropriateness and Decency Decency and modesty are required in carrying out their professional duties, which engender respect, authority and trust. In its application, personal relationships between constitutional judges and members of other legal professions members of the legal profession who appear before the Court, constitutional judges must avoid circumstances that, according to fair reasoning, may give rise to suspicion or show partiality.

  5. Principle of Equality The principle of equality is inherent in the attitude of every constitutional judge to always treat all parties in the trial equally in accordance with their respective positions in the judicial process. In its application, constitutional judges must realize and understand the plurality in society as well as the differences that arise based on ethnicity, color, religion, class, physical condition, age, social status, economic status, and political beliefs.

  6. Principle of Proficiency and Principle of Accuracy Proficiency is reflected in the professional ability of constitutional judges from education, training, or experience. Meanwhile, stability is the personal attitude of the judge that illustrates accuracy, prudence, thoroughness, diligence, and seriousness in the performance of duties. In its application, constitutional judges must dedicate themselves to the performance of their duties.

  7. Principles of Wisdom and Discretion Wisdom and discretion require constitutional judges to behave and act in accordance with legal and other norms that live in society. In its application, constitutional judges must maintain the order of the trial, be polite, and respect all parties in the trial, as the parties respect the constitutional judges in accordance with the order of the trial. Constitutional judges must behave with dignity in examining and deciding each case.


Constitutional judges' violation of Sapta Karsa Hutama.

The Constitutional Court (M.K.) is one of the perpetrators of Judicial Power in Indonesia. It is again being tested for its dignity as the guardian of the constitution related to another case of violation of the code of ethics committed by the Chief Justice of the Constitutional Court, Prof. Dr. H. Anwar. Prof. Dr. H. Anwar Usman, S.H., M.H., in handling case No.90/PUUXXI/2023.



Indonesia Version

Apa itu Sapta Karsa Hutama?

Kode etik Hakim Konstitusi RI merupakan norma moral yang harus dipedomani oleh setiap Hakim Konstitusi. Kode etik dan perilaku hakim konstitusi di Indonesia dideklarasikan dan ditandatangani oleh sembilan hakim konstitusi pada 17 Oktober 2005. Yang disempurnakan pada 1 Desember 2006 dan diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi yang dikenal dengan sebutan Sapta Karsa Hutama.


Penyusunan Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi ini merujuk kepada “The Bangalore Principles of Judicial Conduct 2002” yang telah diterima baik oleh negara-negara yang menganut sistem “Civil Law” maupun “Common Law”, disesuaikan dengan sistem hukum dan peradilan Indonesia dan etika kehidupan berbangsa sebagaimana termuat dalam Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Untuk memastikan Prinsip Sapta Karsa Hutama ini dapat ditaati dan dilaksanakan, dibentuklah perangkat yang bersifat tetap yaitu Dewan Etik Hakim Konstitusi yang diposisikan sebagai pelengkap keberadaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang bersifat sementara sebagaimana telah diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.


Prinsip-prinsip dalam peraturan kode etik dan perilaku hakim konstitusi di Indonesia.

  1. Prinsip Independensi Independensi hakim konstitusi merupakan prasyarat pokok bagi terwujudnya cita negara hukum, dan merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan. Dalam penerapannya, Hakim konstitusi harus menjaga dan menunjukkan citra independen guna memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap Mahkamah Konstitusi.

  2. Prinsip Ketidakberpihakan Ketidakberpihakan mencakup sikap netral, disertai keseimbangan antar kepentingan yang terkait dengan perkara. Dalam penerapannya, Hakim konstitusi harus melaksanakan tugas Mahkamah tanpa prasangka (prejudice), melenceng (bias), dan tidak condong pada salah satu pihak.

  3. Prinsip Integritas Integritas merupakan sikap batin yang mencerminkan keutuhan dan keseimbangan kepribadian setiap hakim konstitusi sebagai pribadi dan sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas jabatannya. Dalam penerapannya, Hakim konstitusi menjamin agar perilakunya tidak tercela dari sudut pandang pengamatan yang layak. Tindak tanduk dan perilaku hakim konstitusi harus memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap citra dan wibawa Mahkamah.

  4. Prinsip Kepantasan dan Kesopanan Kepantasan dan kesopanan diperlukan dalam menjalankan tugas profesionalnya, yang menimbulkan rasa hormat, kewibawaan, dan kepercayaan. Dalam penerapannya, pada hubungan pribadi Hakim konstitusi dengan anggota-anggota profesi hukum lainnya yang beracara di Mahkamah, hakim konstitusi harus menghindari keadaan yang menurut penalaran yang wajar dapat menimbulkan kecurigaan atau memperlihatkan sikap berpihak.

  5. Prinsip Kesetaraan Prinsip kesetaraan ini melekat dalam sikap setiap hakim konstitusi untuk senantiasa memperlakukan semua pihak dalam persidangan secara sama sesuai dengan kedudukannya masing-masing dalam proses peradilan. Dalam penerapannya, Hakim konstitusi harus menyadari dan memahami kemajemukan dalam masyarakat serta perbedaan-perbedaan yang timbul berdasarkan suku bangsa, warna kulit, jenis kelamin, agama, golongan, kondisi fisik, umur, status sosial, status ekonomi, dan keyakinan politik.

  6. Prinsip Kecakapan dan Prinsip Keseksamaan Kecakapan tercermin dalam kemampuan profesional hakim konstitusi dari pendidikan, pelatihan, atau pengalamannya. Sementara itu, kesaksamaan merupakan sikap pribadi hakim yang menggambarkan kecermatan, kehati-hatian, ketelitian, ketekunan, dan kesungguhan dalam pelaksanaan tugas. Dalam penerapannya, Hakim konstitusi mengutamakan tugas Mahkamah di atas segala kegiatan lainnya. Hakim konstitusi harus mendedikasikan diri untuk pelaksanaan tugas-tugasnya.

  7. Prinsip Kearifan dan Kebijaksanaan Kearifan dan kebijaksanaan menuntut hakim konstitusi untuk bersikap dan bertindak sesuai dengan norma hukum dan norma lainnya yang hidup dalam masyarakat. Dalam penerapannya, Hakim konstitusi harus menjaga tata tertib persidangan, santun, dan menghargai semua pihak dalam persidangan, sebagaimana para pihak menghormati hakim konstitusi sesuai dengan tata tertib persidangan. Hakim konstitusi harus bersikap tenang (sober) dalam mememeriksa dan memutus setiap perkara. Hakim konstitusi harus bersikap penuh wibawa dan bermartabat (dignity).


Kasus pelanggaran Hakim Konstitusi terhadap Sapta Karsa Hutama

Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai salah satu pelaku Kekuasaan Kehakiman di Indonesia kembali diuji kelayakan martabatnya sebagai penjaga konstitusi, terkait dengan kembali adanya kasus pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Ketua MK yaitu Prof. Dr. H. Anwar Usman, S.H., M.H. dalam penanganan perkara No.90/PUU-XXI/2023 soal pengujian syarat usia calon presiden dan wakil presiden. Pada putusan No.2/MKMK/L/XI/2023, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memutuskan Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman (Hakim Terlapor) melakukan pelanggaran sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa. Alhasil, MKMK dalam putusannya “Menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi kepada Hakim Terlapor” Ia juga tidak berhak untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pimpinan MK hingga masa jabatannya sebagai hakim konstitusi berakhir.


Referensi

Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 09/Pmk/2006 Tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik Dan Perilaku Hakim Konstitusi.

 

Mahkamah Konstitusi. “Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi Republik Indonesia” Website Resmi Mahkamah Konstitusi RI. Diakses pada 12 Januari 2024.


Mahkamah Konstitusi. “MKMK Berhentikan Anwar Usman dari Jabatan Ketua Mahkamah Kostitusi” Website Resmi Mahkamah Konstitusi RI. Diakses pada 13 Januari 2024.


Willa Wahyuni. “Prinsip Sapta Karsa Hutama dalam Amar Putusan MKMK atas Pelanggaran Kode Etik Ketua MK” Website Hukum Online. Diakses pada 13 Januari 2024.


0 comments
bottom of page