top of page

Solusi Hukum Terhadap Fenomena Catcalling


ALSA Legal Aid Team 2022/2023


Menurut Meriam Webster Dictionary, catcalling berarti “the act of shouting harassing and often sexually suggestive, threatening, or derisive comments at someone publicly.” Dari definisi tersebut diartikan bahwa catcalling adalah tindakan meneriakkan komentar yang melecehkan dan sering kali menjurus ke tindakan seksual, mengancam, atau menghina seseorang di depan umum. Objek dari catcalling kerap kali tertuju kepada perempuan, namun tidak menutup kemungkinan bahwa laki-laki juga dapat menerima tindakan pelecehan seksual ini. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Koalisi Ruang Publik Aman pada masa Pandemi COVID-19 tahun 2022 yang lalu mencatat 79% dari 3.539 perempuan dan 30% dari 625 laki-laki di Indonesia mengalami pelecehan seksual di ruang publik.


Gambar 1. Rape Culture Pyramid oleh Jaime Chandra & Cervix 2018


Berdasarkan gambar piramida diatas, menunjukkan bahwa catcalling berada pada lapisan kedua terbawah yang merupakan tindakan lanjutan dari candaan seksual yang berada di lapisan terbawah. Meningkatnya upaya tersebut menandakan bahwa terjadi upaya lanjutan dari pelaku kepada calon korban nya karena dianggap upaya sebelumnya tidak memuaskan mereka. Korban catcalling dapat merasakan dampak dari tindakan yang dialaminya seperti adanya rasa malu, tidak percaya diri bahkan menganggap pergerakannya di ruang publik terbatas.


Catcalling yang tergolong sebagai kejahatan asusila sejatinya telah diatur pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) pada Pasal 281 yang mengatur perihal perbuatan asusila yang dilakukan secara terbuka dan dilakukan di depan orang lain serta diancam pidana penjara maksimal dua tahun delapan bulan. Selain diatur dalam KUHP, perbuatan catcalling yang berupa suara, bunyi, percakapan maupun gerak tubuh juga termasuk ke dalam definisi pornografi menurut Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (“UU Pornografi”). Pada UU Pornografi juga diatur peran pemerintah dan peran serta masyarakat yang diharapkan dapat bersama-sama memberantas pembuatan, penyebarluasan dan penggunaan pornografi.


Perkembangan aturan tindak pidana pelecehan seksual kembali berkembang akhir akhir ini dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (“UU TPKS”) yang memiliki sejarah yang cukup panjang yakni diawali pada tahun 2012 oleh Komisi Nasional Perempuan dengan nama awal Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (“RUU PKS”). Pada UU TPKS, pelecehan seksual nonfisik dimasukkan ke dalam jenis tindak pidana kekerasan seksual bersama dengan pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual dan kekerasan seksual berbasis elektronik. Kemudian, ancaman pidana terhadap pelanggar pasal tersebut dapat dikenakan pidana penjara paling lama sembilan bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). UU TPKS secara khusus mengatur perihal hak korban pada Bab V yang juga mencakup keluarga korban dan saksi. Korban memiliki beberapa hak meliputi penanganan, pelindungan dan pemulihan sejak menjadi korban TPKS.


Apabila terjadi kasus catcalling yang dialami oleh siapapun, maka terdapat mekanisme hukum yang dapat ditempuh korban agar kasus nya dapat diadili dan si pelaku bisa mendapatkan ganjaran yang setimpal. Langkah awal yang dapat ditempuh ialah dengan melaporkan kasus catcalling kepada pihak kepolisian dengan menyertakan alat bukti sebagaimana diatur pada Pasal 24 dan Pasal 25 UU TPKS. Setelah laporan tersebut diterima oleh pihak kepolisian, selanjutnya dapat dilakukan upaya penyelidikan dan penyidikan dengan memperhatikan ketentuan hukum acara pidana yang berlaku. Apabila penanganan oleh pihak kepolisian telah selesai, maka dilanjutkan ke tahap penuntutan hingga pemeriksaan di sidang pengadilan. Setelah majelis hakim mengeluarkan putusan nya terhadap kasus tersebut, barulah pelaksaan putusan akan dilaksanakan dengan menempatkan pelaku sesuai dengan pertimbangan hakim yang menangani perkara tersebut. Pertimbangan pemulihan korban wajib dimasukkan oleh majelis hakim dalam pembuatan putusan nya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.


Sumber Hukum:

  1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan tentang Hukum Pidana.

  2. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

  3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Referensi:

  1. Saffana Zahro Qila, Rizki Nur Rahmadina, Fadhlin Azizah. “Catcalling sebagai Bentuk Pelecehan Seksual Traumatis”. Jurnal Mahasiswa Komunikasi CANTRIK. Volume 1, Nomor 2 (2021) 98.

  2. Merriam-Webster. (n.d.). Catcalling. In Merriam-Webster.com dictionary. https://www.merriam-webster.con/dictionary/catcalinng. Diakses pada 27 Mei 2023 (19:21).

  3. Koalisi Ruang Publik Aman, 2022. Survei Pelecehan Seksual di Ruang Publik selama Pandemi COVID-19 di Indonesia (2022). http://ruangaman.org/survei2022/. Diakses pada 27 Mei 2023 (19:35).

  4. Mabruri Pudyas Salim, 2023. Catcalling Adalah Tindakan Pelecehan, Ketahui Contoh, Dampak Psikis, dan Cara Menghadapinya. Liputan6.com. https://www.liputan6.com/hot/read/5243264/catcalling-adalah-tindakan-pelecehan-ketahui-contoh-dampak-psikis-dan-cara-menghadapinya. Diakses pada 27 Mei 2023 (20:01).

  5. BBC News Indonesia, 2022. RUU TPKS disahkan setelah berbagai penolakan selama enam tahun, apa saja poin pentingnya?. BBC.com. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-61077691. Diakses pada 28 Mei 2023 (17:04).

0 comments
bottom of page