TINDAK PIDANA KORUPSI DIBALIK PAILITNYA SRITEX : Antara Penyalahgunaan Kredit dan Lalainya
- ICT ALSA LC Unsri
- Jun 18
- 4 min read

By : Rifky Murdani
PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) merupakan salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia yang berbasis di Sukoharjo, Jawa Tengah. Tahun 2020 PT Sritex mendapatkan keuntungan sebesar 1,8 triliun Rupiah, namun satu tahun setelahnya justru perusahaan ini mengalami minus sebesar USD 85,32 Juta atau setara dengan 1,24 triliun Rupiah. Permasalahan kemudian dimulai ketika ZM selaku Direktur Utama PT Bank DKI, DS selaku Pimpinan Divisi Korporasi dan Komisaris Komersial PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten pada tahun 2020 memberikan kredit dengan tidak memperhatikan prinsip kehati-hatian terhadap Iwan Setiawan Lukmianto selaku Komisaris Utama PT Sritex. Bahwa akibat adanya pemberian kredit setelah melawan hukum tersebut yang dilakukan oleh Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat Banten dan Bank DKI Jakarta Kepada PT Sri Rejeki Isman TBK, telah mengakibatkan adanya kerugian keuangan negara sebesar Rp692.980.592.188 dari total nilai beredar atau target yang belum dilunasi sebesar Rp3.588.650.880.028,57. Puncaknya pada bulan Oktober 2024 ditemukan tagihan sebesar Rp 3.588.650.808.028,57 yang diatasnamakan Sritex dan anak perusahaan di bawahnya. Jumlah tersebut merupakan hutang yang diberikan kepada Sritex melalui sindikasi dengan melibatkan beberapa Bank pemerintah, serta 20 bank swasta, hal ini menyebabkan PT Sritex oleh pengadilan negeri Niaga Semarang melalui keputusan nomor perkara 2/PDT.SUS-homologasi/2024/PN.Niaga Semarang dinyatakan pailit.
Adanya indikasi yang menyebabkan PT Sritex hanya dalam kurun waktu 3 Tahun mengalami kebangkrutan membuat kecurigaan bagi Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus yang sejak 25 Oktober 2024 mengusut kasus ini, untuk menemukan apakah ada perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh baik PT Sritex maupun pihak yang terlibat dalam perkara ini. Hasilnya ditemukan adanya dugaan penyalahgunaan dana pinjaman yang diajukan melalui sindikasi pada tahun 2020 yang dilakukan oleh Direktur Utama PT Sritex yakni Iwan Setiawan Lukmianto dengan menggunakan dana pinjaman tersebut untuk membeli lahan di Solo serta Yogyakarta dan juga digunakan untuk membayarkan hutang pribadinya. Sedangkan, terhadap ZM dan DS selaku direktur di Bank Plat Merah diduga turut membantu memberikan kredit tanpa proses analisis yang komprehensif.
Lantas, apakah perbuatan Iwan dapat masuk dalam delik Tindak Pidana Korupsi? Menurut Sayed Hussein Alatas, Korupsi adalah subordinasi kepentingan umum dibawah tujuan-tujuan pribadi yang mencakup pelanggaran norma-norma, tugas, dan kesejahteraan umum, dibarengi dengan kerahasiaan, pengkhianatan, penipuan, dan kemasabodohan yang luar biasa akan akibat yang diderita oleh masyarakat. Singkatnya, korupsi adalah penyalahgunaan amanah untuk kepentingan pribadi. Singkatnya lagi, Pope menjelaskan Korupsi adalah penyalahgunaan kepercayaan untuk kepentingan pribadi. Dalam konteks ini dapat pula kita melihat pada Pasal 2 Ayat 1 Undang–Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menegaskan:
“(1) Setiap Orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta) rupiah dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar) rupiah.
Sedangkan dalam Pasal 3 Undang–Undang Nomor 31 tahun 1999 (UU 31/1999) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menegaskan:
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Rumusan Pasal 2 Ayat (1) sudah jelas bahwa adanya perbuatan yang bertujuan untuk memperkaya diri sendiri dalam hal ini adalah pribadi Iwan serta oleh karena perbuatan tersebut timbul kerugian negara atau perekonomian negara maka dapat dijatuhi pidana dengan delik Tindak Pidana Korupsi. Dengan temuan yang disebutkan di atas maka tentu Iwan dapat dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) UU 31/1999. Sedangkan terhadap ZM dan DS kita dapat diduga memenuhi unsur yang dimaksud dalam Pasal 3 UU 31/1999. Unsur “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” menjadi unsur yang harus dapat dibuktikan oleh Jaksa Muda Pidana Khusus dalam mengawal kasus ini, karena selebihnya apabila tidak dapat dibuktikan keterlibatan aktif dari ZM dan DS dalam membantu Iwan mendapatkan kredit dengan tujuan memperkaya diri Iwan sendiri, maka bisa saja ZM dan DS hanya dikenakan Pasal lain yang masih masuk ke dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Kemudian bagaimana kedudukan ZM dan DS? bahwa memang dalam pelaksanaan hukum perbankan haruslah diterapkan Prinsip Good Corporate Governance yaitu suatu tata kelola bank yang menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan (transparency), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban (responsibility), independensi (independency), dan kewajaran (fairness), hal ini diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum. Dalam konferensi pers yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung, disebutkan mereka (ZM dan DS) tidak melakukan analisa yang memadai dan juga tidak menaati prosedur yang telah ditetapkan dalam pemberian kredit tanpa jaminan yang mana dalam temuannya didapatlah fakta bahwa secara hasil uji due diligence PT Sritex mempunyai peringkat BB min, yang berarti mempunyai resiko gagal bayar yang tinggi, padahal terhadap debitur yang mengajukan kredit tanpa jaminan haruslah mempunyai peringkat A. Maka, oleh karena perbuatan tersebut, ZM dan DS dapat dijerat dengan Pasal 3 ayat 1 UU No 31 Tahun 1999 juncto Pasal 55 KUHP atau pun dengan menggunakan dakwaan alternatif menggunakan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Daftar Pustaka
Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum
Buku
Dr. Ruslan Renggong, S.H.,M.H, (2016). Hukum Pidana Khusus Memahami Delik-delik di Luar KUHP, Jakarta, Prenadamedia Group.
Evi Hartanti, S. H. (2023). Tindak Pidana Korupsi. Sinar Grafika.
Website
cnnindonesia, (2025). Daftar Tersangka dan Fakta- fakta Kasus Korupsi Kredit Sritex. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20250522070803-12-1231829/daftar-tersangka-dan-fakta-fakta-kasus-korupsi-kredit-sritex. diakses tanggal 22 Mei 2025



Comments