top of page

TINJAUAN HAK GUNA BANGUNAN TERHADAP “PAGAR LAUT”

By : Ayyasy Razan Alqisthi


Pada tahun 2024, terdapat penemuan pagar laut sepanjang 30,16 KM di lepas Pantai Kabupaten Tangerang, Banten. Terkuak tabir atas kepemilikan hak kebendaan di ruang laut antara garis pantai sepanjang 16 Desa dan 6 Kecamatan di wilayah Kabupaten Tangerang yang menjadi penemuan pagar laut tersebut. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Banten, Eli Susiyanti, mengungkapkan pihaknya pertama kali menerima informasi adanya aktivitas pemagaran laut pada 14 Agustus 2024. Pihak Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) telah mengkonfirmasi bahwa di lokasi tersebut telah terbit sebanyak 263 bidang, yang terdiri dari 234 bidang Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) atas nama PT. Intan Agung Makmur, 20 bidang SHGB atas nama PT. Cahaya Inti Sentosa, 9 bidang atas nama perorangan (JS selaku Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Tangerang pada masa itu, SH selaku eks Kepala Seksi Penetapan Hak dan Pendaftaran, ET selaku eks Kepala Seksi Survei dan Pemetaan, WS selaku Ketua Panitia A, YS selaku Ketua Panitia A, NS selaku Panitia A, LM selaku eks Kepala Survei dan Pemetaan setelah ET, dan KA selaku Eks PLT Kepala Seksi Penetapan Hak dan Pendaftaran). Selain itu, ditemukan juga 17 bidang Sertifikat Hak Milik (SHM) di kawasan tersebut. Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri telah menetapkan empat tersangka yang bersangkutan antara lain A selaku Kades Kohod, UK selaku Sekdes Kohod dan dua orang penerima kuasa, SP dan CE, dan tidak diketahui siapa yang memberi kuasa kepada SP dan CE. Namun, Sampai sekarang, masih tidak diketahui siapa yang memberi kuasa ke SP dan CE, ada yang mengatakan bahwa yang memberi kuasa ke SP dan CE adalah warga. Namun, itu tidak bisa dipastikan karena warga sendiri belum memberikan kesaksiannya, dan juga belum ada kesaksian langsung dari SP dan CE selaku penerima kuasa tersebut.


Sebagai ahli hukum, Profesor Mahfud MD menilai kasus ini merupakan tindak pidana, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 PUU-VII Tahun 2010 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Ia berpendapat bahwa, “Sertifikat HGB laut ilegal tidak hanya harus dicabut, tapi juga harus dipidanakan karena merupakan produk kolusi yang melanggar hukum. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 jelas melarang pihak swasta atau perorangan untuk pengembangan perairan pesisir, ini berbeda dengan reklamasi,”

Berbeda dengan Profesor Mahfud, Prof. Nurhasan Ismail, Pakar Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), berpendapat bahwa air dan tanah dapat melekat pada landasan hukum hak atas tanah, yaitu berdasarkan pengertian tanah pada Pasal 1 ayat (4) UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) mengatur:

“Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air


Mengacu pada Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Pasal 2 ayat (4) dan Pasal 3 UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), mengakui hak-hak ulayat dan hak-hak serupa yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat, sepanjang hak-hak tersebut masih ada dan sesuai dengan kepentingan nasional, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Pasal 4 ayat (1), (2), dan (3) UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) juga mengatakan bahwa hak-hak atas tanah dapat diberikan dan dimiliki oleh orang-orang, baik diri sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum negara, serta diberikan wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, walaupun sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut Undang-undang ini atau peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi, selain hak-hak atas tanah, ini berlaku juga untuk hak-hak atas air dan ruang angkasa. Pasal 9 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) juga mengatakan bahwa hanya Warga Negara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa. Maka dari itu, SHGB dan SHM hanya dapat ditetapkan oleh pihak negara yang sesuai dengan kepentingan nasional, dan mendapat persetujuan masyarakat hukum adat setempat.


Kasus Sertifikat Hak Guna Bangunan di area laut ini jelas ilegal, karena berdasarkan Pasal 4 ayat (1), (2), dan (3) UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) juga mengatakan bahwa hak-hak atas tanah dapat diberikan dan dimiliki oleh orang-orang, baik diri sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum negara, serta diberikan wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, walaupun sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut Undang-undang ini atau peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi, selain hak-hak atas tanah, ini berlaku juga untuk hak-hak atas air dan ruang angkasa. Kasus ini juga merupakan pelanggaran tindak pidana, dikarenakan  pihak-pihak yang terlibat ini menyalahgunakan kekuasaannya dan berani melanggar UUD 1945 yakni Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 tentang Penguasaan Sumber Daya Alam oleh Negara untuk merampok kekayaan sumber daya alam negara yang dilindungi oleh undang-undang untuk tidak boleh digunakan siapapun pihak kecuali negara untuk kepentingan diri sendiri.




DAFTAR PUSTAKA



Comments


LOGO putih.png
Jl. Raya Palembang - Prabumulih KM. 32, Indralaya Utara Kab. Ogan Ilir,
Sumatera Selatan 30662   |   alsalcunsri@gmail.com   |  +6287892938110

Copyright © 2024 Asian Law Students' Association Local Chapter Universitas Sriwijaya

Organized by ICT Officers ALSA LC Unsri    |   All Rights Reserved. All Systems Operational.

bottom of page